Minggu, 23 Juli 2017

Pakan Ternak Transgenik dan Berbagai Kontroversi di Baliknya

Pemenuhan kebutuhan protein hewani di Indonesia hampir sepenuhnya diperoleh dari sektor usaha peternakan. Peternakan unggul melalui sumbangan produk mentahnya seperti daging, susu dan telur serta berbagai produk olahannya seperti yoghurt dan keju. Untuk daging sapi sendiri, diketahui bahwa kebutuhan daging sapi di Indonesia menyentuh angka ratusan ribu ton per tahunnya. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Melihat hal tersebut, maka tentulah jumlah hewan ternak yang tinggi harus sejalan dengan jumlah pakan yang disediakan.


Penyediaan pakan bagi hewan ternak menjadi permasalahan yang cukup serius bagi para peternak. Ketersediaan pakan alami seperti biji-bijian dan rumput sering kali berfluktuasi karena ketersediaannya sangat bergantung pada musim. Daerah yang memiliki musim kemarau panjang memiliki ketersediaan pakan ternak yang sangat terbatas, mengingat pasokan air di daerah tersebut sangatlah minim. Selain itu, pakan alami dengan kualitas yang baik juga memerlukan waktu tanam yang lama, luas lahan tanam yang tidak sedikit, dan perawatan intensif agar tidak mudah terserang hama.



Seiring berkembangnya teknologi di bidang pertanian dan peternakan, masalah ketersediaan pakan ternak ini ternyata dapat diatasi dengan teknik rekayasa genetika. Teknik rekayasa genetika mampu menciptakan organisme baru yang memiliki gen hasil rekayasa. Melalui teknik ini, maka para ilmuan akan mampu untuk mengidentifikasi gen yang dapat memberikan keuntungan pada tanaman tertentu dan kemampuan untuk bekerja dengan karakteristik yang diinginkan. Penggunakan teknik rekayasa genetika dalam pemberian pakan bagi hewan ternak bertujuan untuk menghasilkan pakan dengan kualitas baik yang resisten terhadap hama dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat.

Dewasa ini, kita sudah dapat menemukan peternakan yang mempercayakan pakan hewan ternaknya menggunakan tanaman transgenik. Salah satu peternakan tersebut adalah Inghams Enterprise, New Zealand, peternakan ini menggunakan kedelai transgenik sebagai pakan bagi hewan ternaknya. Namun, penggunaan tanaman transgenik sebagai pakan hewan ternak kemudian menuai banyak pertanyaan, di antaranya: “apakah gen dari pakan tanaman transgenik tersebut mampu berpindah ke hewan ternak?” lalu “dampak apakah yang akan ditimbulkan bagi konsumen yang mengkonsumsi hewan ternak yang disinyalir telah terinjeksi gen tanaman transgenik tersebut?”

Berbagai spekulasi berkembang terkait dengan isu ini. Awalnya para ilmuan berpendapat bahwa gen pakan tanaman transgenik tidak akan dapat berpindah ke hewan ternak. Namun, penyelidikan lebih lanjut justru menjabarkan fakta yang bertolak belakang. Hasil penelitian terhadap hewan ternak ini menyebutkan bahwa gen pakan tanaman transgenik terdeteksi ada pada organ-organ dalam dari hewan ternak yang mengkonsumsi pakan tersebut. Hal ini memberikan jawaban bahwa, benar, gen pakan tanaman transgenik mampu berpindah ke dalam tubuh hewan ternak.

Dampak yang ditimbulkan dari konsumsi hewan ternak yang terinjeksi transgenik ini tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Aspek kesehatan konsumen menjadi hal utama yang dipertaruhkan. Menurut Neal Stewart, dalam jurnal Transgenic Plants and Biosafety: Science, Misconceptions and Public Perceptions, konsumen yang mengkonsumsi makanan yang mengandung gen dari tanaman transgenik dapat berpotensi terserang alergi dan keracunan. Bahkan efek jangka panjang dari pengkonsumsian rutinnya dapat menyebabkan kanker.

Untuk alasan kesehatan, sebenarnya pemberian pakan hewan ternak dapat dilakukan tanpa penggunaan jenis tanaman transgenik sekalipun. Menurut Ati Sihombing, dalam artikel Kandungan Gizi Aneka Pakan Ternak Unggas, disebutkan bahwa pakan hewan ternak yang baik dapat diperoleh dari tanaman-tanaman yang mudah dipanen misalnya jagung, ubi kayu, bekatul, dan sebagainya. Ketiga jenis tanaman ini dikatakan baik mengandung kandungan nutrisi yang cukup bagi hewan ternak dan dapat dibudidayakan secara mudah dan ekonomis.

Menilik dari kasus ini, maka dapat disimpulkan bahwa pakan hewan ternak yang diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan secara alami lebih memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan pakan hewan ternak yang didapat dari hasil rekayasa genetika. Pakan hewan ternak yang diperoleh dari tanaman hasil transgenik dapat memindahkan gennya ke hewan ternak yang mengkonsumsinya. Bagi konsumen yang kemudian mengkonsumsi hewan ternak ini, dapat berpotensi terjangkit berbagai masalah kesehatan.

Peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, menyebutkan bahwa sebelum produk beredar perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih dahulu. Untuk proses tersebut, peraturan pemerintah ini juga sudah menunjuk Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran dan dapat dibeli oleh berbagai pihak.


Melihat banyaknya tanaman transgenik yang beredar di pasaran, sudah sepatutnya pemerintah menaruh perhatian lebih untuk hal ini demi keamanan konsumen, khususnya di Indonesia. Pemerintah bisa saja menjatuhkan tanggung jawab pengujian hanya pada satu lembaga, akan tetapi, pelaksanaan di lapangan haruslah dijalankan secara maksimal. Perusahaan hewan ternak atau peternak kecil juga dapat menerapkan prosedur transparansi terhadap pengelolaan hewan ternak mereka sehingga konsumen tidak lagi merasa dibohongi. Sebagai individu yang hidup di zaman dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, sudah sepatutnya kita dapat menempatkan diri kita sebagai konsumen yang cerdas.

*Tulisan ini dibuat untuk penenuhan nilai UAS mata kuliah Bioteknologi, Pendidikan Biologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
*Foto yang terdapat pada tulisan ini diambil dari berbagai sumber di internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar