Pemenuhan
kebutuhan protein hewani di Indonesia hampir sepenuhnya diperoleh dari sektor usaha
peternakan. Peternakan unggul melalui sumbangan produk mentahnya seperti daging,
susu dan telur serta berbagai produk olahannya seperti yoghurt dan keju. Untuk daging sapi sendiri, diketahui bahwa
kebutuhan daging sapi di Indonesia menyentuh angka ratusan ribu ton per tahunnya.
Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Melihat hal tersebut, maka
tentulah jumlah hewan ternak yang tinggi harus sejalan dengan jumlah pakan yang
disediakan.
Penyediaan pakan bagi hewan ternak
menjadi permasalahan yang cukup serius bagi para peternak. Ketersediaan pakan
alami seperti biji-bijian dan rumput sering kali berfluktuasi karena
ketersediaannya sangat bergantung pada musim. Daerah yang memiliki musim
kemarau panjang memiliki ketersediaan pakan ternak yang sangat terbatas,
mengingat pasokan air di daerah tersebut sangatlah minim. Selain itu, pakan alami
dengan kualitas yang baik juga memerlukan waktu tanam yang lama, luas lahan tanam
yang tidak sedikit, dan perawatan intensif agar tidak mudah terserang hama.
Seiring berkembangnya teknologi di
bidang pertanian dan peternakan, masalah ketersediaan pakan ternak ini ternyata
dapat diatasi dengan teknik rekayasa genetika. Teknik rekayasa genetika mampu
menciptakan organisme baru yang memiliki gen hasil rekayasa. Melalui teknik ini,
maka para ilmuan akan mampu untuk mengidentifikasi gen yang dapat memberikan keuntungan
pada tanaman tertentu dan kemampuan untuk bekerja dengan karakteristik yang
diinginkan. Penggunakan teknik rekayasa genetika dalam pemberian pakan bagi
hewan ternak bertujuan untuk menghasilkan pakan dengan kualitas baik yang
resisten terhadap hama dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat.
Dewasa ini, kita sudah dapat menemukan
peternakan yang mempercayakan pakan hewan ternaknya menggunakan tanaman
transgenik. Salah satu peternakan tersebut adalah Inghams Enterprise, New Zealand, peternakan ini menggunakan kedelai
transgenik sebagai pakan bagi hewan ternaknya. Namun, penggunaan tanaman
transgenik sebagai pakan hewan ternak kemudian menuai banyak pertanyaan, di
antaranya: “apakah gen dari pakan tanaman transgenik tersebut mampu berpindah
ke hewan ternak?” lalu “dampak apakah yang akan ditimbulkan bagi konsumen yang
mengkonsumsi hewan ternak yang disinyalir telah terinjeksi gen tanaman
transgenik tersebut?”
Berbagai spekulasi berkembang
terkait dengan isu ini. Awalnya para ilmuan berpendapat bahwa gen pakan tanaman
transgenik tidak akan dapat berpindah ke hewan ternak. Namun, penyelidikan
lebih lanjut justru menjabarkan fakta yang bertolak belakang. Hasil penelitian
terhadap hewan ternak ini menyebutkan bahwa gen pakan tanaman transgenik
terdeteksi ada pada organ-organ dalam dari hewan ternak yang mengkonsumsi pakan
tersebut. Hal ini memberikan jawaban bahwa, benar, gen pakan tanaman transgenik
mampu berpindah ke dalam tubuh hewan ternak.
Dampak yang ditimbulkan dari
konsumsi hewan ternak yang terinjeksi transgenik ini tidaklah dapat dipandang
sebelah mata. Aspek kesehatan konsumen menjadi hal utama yang dipertaruhkan.
Menurut Neal Stewart, dalam jurnal Transgenic
Plants and Biosafety: Science, Misconceptions and Public Perceptions,
konsumen yang mengkonsumsi makanan yang mengandung gen dari tanaman transgenik
dapat berpotensi terserang alergi dan keracunan. Bahkan efek jangka panjang
dari pengkonsumsian rutinnya dapat menyebabkan kanker.
Untuk alasan kesehatan, sebenarnya
pemberian pakan hewan ternak dapat dilakukan tanpa penggunaan jenis tanaman
transgenik sekalipun. Menurut Ati Sihombing, dalam artikel Kandungan Gizi Aneka Pakan Ternak Unggas, disebutkan bahwa pakan
hewan ternak yang baik dapat diperoleh dari tanaman-tanaman yang mudah dipanen
misalnya jagung, ubi kayu, bekatul, dan sebagainya. Ketiga jenis tanaman ini
dikatakan baik mengandung kandungan nutrisi yang cukup bagi hewan ternak dan
dapat dibudidayakan secara mudah dan ekonomis.
Menilik dari kasus ini, maka dapat
disimpulkan bahwa pakan hewan ternak yang diperoleh dari tanaman yang
dibudidayakan secara alami lebih memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan
dengan pakan hewan ternak yang didapat dari hasil rekayasa genetika. Pakan
hewan ternak yang diperoleh dari tanaman hasil transgenik dapat memindahkan
gennya ke hewan ternak yang mengkonsumsinya. Bagi konsumen yang kemudian
mengkonsumsi hewan ternak ini, dapat berpotensi terjangkit berbagai masalah
kesehatan.
Peraturan pemerintah nomor 21 tahun
2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, menyebutkan bahwa
sebelum produk beredar perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih
dahulu. Untuk proses tersebut, peraturan pemerintah ini juga sudah menunjuk Tim
Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga
terbentuk. Sehingga produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran dan dapat
dibeli oleh berbagai pihak.
Melihat banyaknya tanaman transgenik
yang beredar di pasaran, sudah sepatutnya pemerintah menaruh perhatian lebih
untuk hal ini demi keamanan konsumen, khususnya di Indonesia. Pemerintah bisa
saja menjatuhkan tanggung jawab pengujian hanya pada satu lembaga, akan tetapi,
pelaksanaan di lapangan haruslah dijalankan secara maksimal. Perusahaan hewan
ternak atau peternak kecil juga dapat menerapkan prosedur transparansi terhadap
pengelolaan hewan ternak mereka sehingga konsumen tidak lagi merasa dibohongi.
Sebagai individu yang hidup di zaman dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang
terus berkembang, sudah sepatutnya kita dapat menempatkan diri kita sebagai
konsumen yang cerdas.
*Tulisan ini dibuat untuk penenuhan nilai UAS mata kuliah Bioteknologi, Pendidikan Biologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
*Foto yang terdapat pada tulisan ini diambil dari berbagai sumber di internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar